Sufi besar ini mempunyai tempat
cukup penting dalam dunia tasawuf. Pernyataan-pernyataannya cendrung
kontroversial.
Dalam dunia sufi, Al-Hallaj mempunyai kisah tersendiri.
Pemikirannya tentang Wahdatul Wujud, yaitu paham yang meyakini
bahwa seseorang mampu meleburkan diri ke dalam Dzat Allah, meninggalkan banyak
kontroversi. Bahkan sampai sekarangpun perdebatan tentang hal itu belum juga
reda. Selain itu Al-Hallaj juga sangat piawai dalam mengemukakan pengalaman
spritualnya. Ia bahkan cenderung ekstrim. Jargonnya yang terkenal; Ana
al-Haq (aku adalah Tuhan),masih terus menjadi bahan perbincangan yang
tiada habis sampai sekarang.
Ia lahir dengan nama Abu Al-Mugis Al-Husain ibnu
Mansur al-Baidlawi pada 858 M / 244 H di Baida, di Provinsi Fars,
Iran. Masa remajanya dihabiskan di Kota Tustar, belajar pada Sahal ibnu
Abdullah At-Tustari, sufi besar yang
terkenal di Tustar. Ketika usianya menginjak 18 tahun, ia pergi ke Basrah, lalu
ke Baghdad, ia berguru kepada beberapa guru spritual, seperti Syekh Abdul
Husain al-Nurim Syekh Junaid Al-Bagdadi, dan Syekh Amru ibn Usman Al-Makki.
Ketika berguru pada Al-Makki itulah ia mulai mendapat
pemahaman tentang Wahdatul Wujud, dan sejak itu ia banyak
melontarkan ucapan-ucapan yang kontroversial. Padahal beberapa gurunya sudah
berkali-kali melarangnya. Tapi sia-sia. Itu sebabnya ia memilih meninggalkan perguruannya
di Basrah, dan kembali ke Baghdad. Di Ibu kota Irak ini ia masuk kembali ke
perguruan milik Syekh Junaid Al-Baghdadi. Tapi di sini ia kembali melontarkan
ucapan-ucapan yang mengungkapkan rahasia ke-Tuhan-an, walaupun sudah dilarang
oleh gurunya.
Meskipun begitu Al-Hallaj juga
berdakwah. Bahkan ia tidak tanggung-tanggung dalam berdakwah. Misalnya
berdakwah sambil mengembara, dari Ahwaz, Khurasan, Turkistan, keluar dari Irak,
sampai ke India. Hebatnya dimanapun ia berada selalu elu-elukan karena ilmu
agamanya yang tinggi. Kepiawaiannya inilah yang menjadikannya mempunyai banyak
pengikut yang balakangan disebut kelompok al-Hallajiyah. Mereka
memandang Al-Hallaj sebagai waliyullah yang memiliki kekeramatan.
Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan, Al-Hallaj adalah
seorang sufi yang sangat tekun beribadah. Dalam ibadahnya yang khusyu’ ia
sering mengungkapkan rasa Syathahat, yaitu ungkapan-ungkapan
yang kedengarannya ganjil. Hal itu terjadi ketika ia tenggelam dalam Fana,
suatu tingkatan kerohanian ketika kesadaran tentang segala sesuatu sirna
kecuali hanya kesadaran tentang Allah SWT.
Dari sinilah muncul ungkapan An al-Haq – yang oleh Al-Hallaj ditafsirkan
bahwa “Aku berada di dalam Dzat Allah.” Bayak ahli tasawuf
menafsirkan, ungkapan itu sebenarnya tidak dimaksudkan bahwa dirinya adalah
Tuhan. Hal itu tampak dalam sebuah pernyataan, “Aku adalah rahasia Yang Maha
Benar, bukanlah Yang Maha Benar Itu Aku. Aku hanyalah satu dari
yang benar. Maka bedakanlah antara aku dan Dia.”
Ia
menulis sejumlah kitab dan bait-bait puisi. Dalam legenda Muslim, ia adalah
prototipe pencinta yang mabuk kepayang kepada Allah.
Husain ibnu Manshur, yang dijuluki Al-Hallaj (penyortir wol), awalnya pergi
menuju Tustar, di sana menjadi pelayan Sahl ibnu Abdullah selama dua tahun,
kemudian setelah itu ia bertolak ke Baghdad. Ia memulai pengembaraannya pada
usia 18 tahun. Setelah itu ia pergi Bashrah dan bergabung dengan Amr ibnu
Ustman, sampai delapan belas bulan bersamanya. Ia menikah dengan putri Ya’qub
Al-Aqta’. Karena pernikahannya dengan Putri Ya’qub itulah membuat Amr ibnu
Ustman menjadi tidak senang terhadap Al-Hallaj.
Karena itulah Al-Hallaj pergi meninggalkan Bashrah menuju
Baghdad. Di sana ia menemui Junaid. Junaid memberikan syarat kepada Al-Hallaj, bahwa ia harus diam dan mengasingkan
diri. Setelah beberapa lama ia bersama Junaid, ia melanjutkan perjalanannya
menuju Hijaz. Ia tinggal di Makkah selama satu tahun. Setelah itu ia kembali
lagi ke Baghdad. Bersama sekelompok sufi ia sering menghadiri majelis Junaid
dan sering mengajukan pertanyaan kepada Junaid, namun Junaid tidak menjawabnya.
Ketika
Junaid menolak menjawab pertanyaan-pertanyaannya, Al-Hallaj merasa kesal dan
tanpa pamit ia pergi menuju Tustar. Di sana ia tinggal selama satu tahun dan
diterima dengan hangat oleh masyarakat, namun karena ia sering merendahkan
doktrin yang berlaku di tengah masyarakat saat itu, para ulama ulama pun
akhirnya merasa jengkel lalu menentangnya.
Al-Hallaj
pun sebenarnya sudah jemu dengan tempat itu. Ia lalu mencoba menanggalkan jubah
sufinya, dan mengenakan jubah orang kebanyakan, dan menghabiskan hari-harinya
bersama orang-orang kebanyakan (duniawi).
Namun
upaya ini tidak membawa perubahan apa-apa bagi dirinya. Setelah itu ia
menghilang selama lima tahun. Sebagian ia habiskan waktunya di Khurasan, dan
Transoxiana, sebagian lagi di Sistan.
Al-Hallaj
kemudian kembali ke Ahwaz. Di sana khotbah-khotbahnya mendapat dukungan dari
kaum elite dan masyarakat kebanyakan. Ia sering berkhotbah tentang
rahasia-rahasia manusia, sehingga ia dijuluki sebagai “Al-Hallaj Sang Rahasia.”
Setelah
masa itulah ia mengenakan jubah Darwis yang compang camping lagi dan pergi
menuju ke tanah Haram, bersama sekelompok orang dengan pakaian yang serupa.
Saat ia tiba di Makkah, Ya’qub Al-Nahrajuri menuduhnya sebagai tukang sihir.
Karena tuduhan itulah ia kembali lagi ke Bashrah, lalu ke Ahwaz.
“Sekarang
aku akan pergi ke negeri-negeri kaum Polities, untuk menyeru manusia kepada
Allah,” tuturnya.
Ia
pun pergi ke India, Transoxiana, lalu ke Cina., menyeru manusia kepada Allah
dan banyak menulis kitab untuk mereka.
Saat
ia kembali dari pengembaraannya ke daerah-daerah itu, masyarakat di
daerah-daerah tersebut menulis surat untuknya.
Orang-orang India memanggilnya Abul
Mughis, masyarakat Cina menjulukinya Abul Mu’in, mereka yang di Khurasan
mengenalnya sebagai Abul Muhr, orang-orang Parsi memanggilnya Abu Abdullah,
masyarakat Khusiztan menjulukinya Al-Hallaj, sang Rahasia, di Bahgdad ia
dijuluki sebagai Mustalim, sedangkan di Bashrah ia dikenal sebagai Mukhabbar.
Sekembalinya
dari Makkah yang kedua kalinya, keadaannya telah banyak berubah. Ia adalah
seorang “manusia baru”, menyeru manusia kepada kebenaran dengan menggunakan
istilah-istilah yang sama sekali tidak dipahami oleh seorangpun. Karena itulah,
diriwayatkan bahwa ia telah di usir dari lima puluh kota.
Dalam
keadaan yang membingungkan seperti itulah, masyarakat terbelah menjadi dua
kelompok berkaitan dengan Al-Hallaj, ada yang pro pada pendapatnya, dan ada
banyak yang menentangnya. Walaupun mereka banyak yang menyaksikan
keajaiban-keajaiban yang dilakukan oleh Al-Hallaj.
“Katakanlah,
Dialah Kebenaran,” teriak mereka kepadanya.
“Ya,
Dialah segalanya,” jawab Al-Hallaj. “Kalian mengatakan bahwa Dia hilang (tak
dapat diindrai). Sebaliknya Husainlah (maksudnya dirinya) yang hilang (fana).
Lautan tak akan surut ataupun lenyap.”
Masyarakat
melapor kepada Syekh Junaid, “kata-kata Al-Hallaj mengandung makna esoteris.”
“Biarkan
ia dieksekusi,” jawab junaid. “Sekarang ini bukanlah saat yang tepat bagi
makna-makna esoteris.”
Ia
dipenjara oleh Khalifah selama satu tahun. Namun selama dalam tahanan itu,
masyarakat sering menjenguk dan menemuinya untuk mengkonsultasikan
masalah-masalah mereka. Akhirnya mereka dilarang untuk mengunjungi Al-Hallaj.
Setelah itu selama lima bulan tak ada seorangpun yang menemuinya, kecuali Ibnu
Atha’ dan Ibnu Khafif.
Pada
suatu kesempatan, Ibnu Atha’ mengirimkan pesan kepada Al-Hallaj. “Wahai Syekh,
mintalah maaf atas segala ucapanmu agar engkau bisa bebas.”
Al-Hallaj
menjawab, “Suruh ia yang mengatakan hal ini untuk meminta maaf.”
Ibnu
Atha’ menangis saat mendengar jawaban ini. “Kita bahkan tidak memiliki secuil
pun derajat dibanding dengan Al-Hallaj.” Katanya.
Diriwayatkan,
pada malam pertama ia dipenjara, para sipir datang ke selnya, namun tidak
menemukannya di sana. Mereka mencarinya ke seluruh sudut sel, namun ia tetap
tidak ditemukan.
Pada
malam kedua, mereka juga tidak menemukan baik Al-Jallaj maupun selnya.
Pada
malam ketiga, mereka menemukannya berada di dalam selnya.
Para
sipir itu bertanya, “Dimana engkau pada malam pertama, dan dimana engkau
bersama sel ini di malam kedua? Kini engkau di sel ini kembali, tanda-tanda apa
ini?”
Ia
menjawab, “Di malam pertama, aku berada di dalam-Nya, karena itulah aku tidak
berada di sini. Pada malam kedua, Dia berada di sini, maka aku dan sel ini pun
tiada. Di malam ketiga, aku dikirim kembali, agar hukum dapat ditegakkan, ayo
lakukan tugas kalian!”
Saat
Al-Hallaj masuk penjara itu, ada tiga ratus orang tahanan lain di sana. Malam
itu ia menyapa mereka, “Wahai para tahanan, maukah kalian aku bebaskan?”
“Mengapa
tidak engkau bebaskan saja dirimu sendiri?” Tanya mereka.
“Aku
adalah tahanan Allah, aku adalah pengawal keselamatan,” jawabnya. “Jika engkau
mau, aku dapat melepaskan semua belenggu dengan satu isyarat.”
Al-Hallaj
membuat satu isyarat dengan jari telunjuknya, dan semua belenggu mereka pun
terbuka, hancul lebur.
“Sekarang
bagaimana kita bisa pergi? Tanya para tahanan itu. “Karena pintu sel terkunci.”
Al-Hallaj
membuat satu isyarat lagi, dan tembok penjara pun jebol.
“Sekarang
pergilah kalian,” pekiknya.
“Engkau
tidak ikut?” Tanya mereka.
“Tidak,”
jawabnya. “Aku punya sebuah rahasia dengan-Nya yang hanya bisa diungkapkan di
tiang gantungan.”
“Keesokan
harinya para sipir bertanya padanya, “Kemana perginya para tahanan lainnya?”
“Aku
telah membebaskan mereka,” jawab Al-Hallaj dengan santainya.
“Mengapa
engkau tidak ikut pergi?” tanya mereka.
“Allah
punya alasan untuk mencemoohku, maka aku tidak pergi,” jawabnya.
Kejadian
di penjara ini dilaporkan kepada Khalifah. “Akan ada kerusuhan,” pekik
Khalifah. “Bunuh dia, atau cambuk dia dengan tongkat sampai dia menarik kembali
ucapannya.”
Mereka
mencambuknya dengan tongkat sebanyak tiga ratus kali. Setiap kali cambuk
mendera tubuhnya, sebuah suara ghaib berkata, “Jangan takut, wahai Ibnu
Manshur!”
Kemudian
mereka membawanya keluar untuk disalib. Dengan tiga belas belenggu yang berat
di tubuhnya, Al-Hallaj melangkah dengan tegap sepanjang jalan, sambil
melambaikan tangannya seperti seorang pengembara.
“Mengapa
engkau berjalan dengan begitu pongah?” Mereka bertanya.
“Karena
aku tengah berjalan menuju pejagalan,” jawabnya. sambil melantunkan bait-bait
syait:
kekasihku tak
bersalah
dieri-Nya aku
anggur terbaik seperti Dia
laksana tuan
rumah yang ramah,
melayani
tamunya.
Dan kala
perjamuan telah berakhir,
Dia menghunus
pedang dan kafan pun di gelar-Nya,
Itulah takdir,
Bagi ia yang
meneguk anggur lama,
Di musim panas bersama singat tua.
Al-Hallaj: Ana al-Haq (Bagian 2)
Menurut
Al-Hallaj, Allah SWT menciptakan menusia menurut bentuk-Nya, dalam pengertian
bahwa, kendati manusia adalah makhluk dan bukan Tuhan, manusia mempunyai tabiat
kemanusiaan yang menyerupai tabiat ketuhanan Allah SWT. Dengan kata lain,
tabiat kemanusiaan adalah tabiat ke-Tuhan-an yang tidak sempurna, sedangkan
tabiat ketuhanan Allah SWT Maha Sempurna, suci dari kekurangan. Banyak sufi se
zamannya yang berbicara seperti itu, misalnya Syekh As-Syibli, yang bahkan dianggap gila. Lain halnya dengan
AL-Hallaj, ia tidak dianggap gila, tapi orang waras yang bijak.
Banyak
kisah menarik di sekitar Al-Hallaj, terutama pergaulannya dengan Junaid
Al-Bagdadi. Pada suatu hari Syekh Junaid berkata, “Hai, Mansur (Al-Hallaj) tak lama lagi suatu titik dari sebilah papan akan
diwarnai oleh darahmu!” maka sahut Al-Hallaj, “Benar, tapi engkau juga akan
melemparkan pakaian kesufianmu dan mengenakan pakaian Maulwi Ana Al-Haq.”
Dan ternyata dua ramalan itu menjadi kenyataan. Pada suatu hari Al-Hallaj
benar-benar dirangsang oleh “Api cinta Ilahiyah” dan kembali meneriakkan “Ana al-Haq”
tanpa henti.
Para
guru dan teman-temannya seperti Syekh Junaid dan As-Syibli, menasihati dia agar
menahan diri. Namun ia tidak mempan oleh teguran itu. Al-Hallaj terus saja
mengulang seruannya, “Ana
Al-Haq,” setiap saat.
Gara-gara itulah, kaum ulama syariat bangkit melawan Al-Hallaj, didukung oleh
Hamid bin Abbas, Perdana Menteri Irak. Dan akhirnya keluarlah “Fatwa Kufur”, yang menyatakan
bahwa Al-Hallaj melanggar ketentuan agama dan dapat dihukum mati.
Tapi
ketika hukuman itu disampaikan untuk mendapat persetujuan Khalifah Muqtadir
Billah menolaknya, kecuali fatwa tersebut di tanda tangani oleh Syekh Junaid
Al-Bagdadi, maka Khalifah Muqtadir pun mengirimkan fatwa itu kepada Syekh
Junaid – sampai enam kali. Pada kiriman yang ke tujuh, Syekh Junaid membuang
pakaian kesufiannya lalu memakai pakaian keulamaan. Setelah itu ia menulis pada
surat jawaban: menurut hukum syariat, Al-Hallaj dapat di
jatuhi hukuman mati, tapi menurut ajaran rahasia kebenaran, Allah Maha Tahu!.
Maka Al-Hallaj pun
ditangkap pada tahun 913 M / 309 H. ia ditahan dan dijebloskan kedalam penjara.
Para ulama pro pemerintah menuduhnya sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan
yang tidak sesuai dengan syariat. Bahkan ia dituduh berkomplot dengan kelompok
perusuh Qaramithah yang mengancam kedaulatan Bani Abbasiyah. Maka Al-Hallaj pun
dihukum mati dengan cara disalib.
Saat mereka membawa
Al-Hallaj ke tiang gantungan di Bab al-Taq, ia mencium kayunya dan menaiki
tangganya sendiri.
“Bagaimana perasaanmu?”
Tanya mereka.
“Mi’rajnya seorang
kasatria adalah di tiang gantungan,” jawabnya.
Ia mengenakan celana
sebatas pinggang dan mantel di bahunya. Sambil menghadap ke arah kiblat, ia
menengadahkan kedua tangannya dan mulai bercengkrama dengan Allah.
“Apa yang diketahui-Nya,
tak seorang pun mengetahuinya,” katanya. Lalu ia pun naik ke tiang gantungan.
Sekelompok orang
pengikutnya bertanya, “Bagaimana menurutmu, mengenai kami yang merupakan para
pengikutmu, dan mengenai mereka, yang hendak merajammu?”
“Mereka mendapat dua
pahala, sedangkan kalian satu,” jawabnya. Kalian hanya berprasangka baik
padaku, sedangkan mereka digerakkan oleh kekuatan keimanan terhadap Allah untuk
menjaga kelurusan hukum-Nya.”
Kemudian As-Syibli
mendekat dan berdiri di hadapannya sambil berkata, “Bukankah kami telah
melarangmu dari (melindungi) manusia?” pekiknya. Lalu ia bertanya, “Wahai
Al-Hallaj, apa itu sufisme?”
Al-Hallaj menjawab,
“Yang engkau lihat ini adalah derajat terendahnya.”
“Lalu apa yang lebih
tinggi daripada ini?” tanya As-Syibli.
“Yang tak dapat engkau
capai,” jawab Al-Hallaj.
Orang-orang mulai
melempari Al-Hallaj dengan batu. Sedangkan As-Syibli, demi menyesuaikan diri,
melempar segumpal tanah. Al-Hallaj merintih.
Mereka bertanya, “Engkau
tidak merintih saat dilempar dengan batu-batu itu. Tapi mengapa engkau merintih
sewaktu terkena lemparan segumpal tanah?”
“Karena mereka yang
melemparku dengan batu tidak mengetahui apa yang mereka lakukan. Mereka punya
alasan. Sedangkan ia yang melempar gumpalan tanah itu, ia mengetahui bahwasanya
tidak seharusnya ia melakukan itu kepadaku. Itulah yang menyakitkanku.”
Kemudian mereka
memenggal kedua tangannya, Al-Hallaj pun tertawa.
“Mengapa engkau
tertawa?” pekik mereka.
“Sungguh mudah memenggal
kedua tangan orang seseorang yang terbelenggu,” jawabnya. “Namun dibutuhkan
seorang kasatria untuk memenggal tangan-tangan segenap sifat yang melepaskan
mahkota cita-cita dari dahi-Nya.”
Mereka memotong kedua
kakinya. Ia pun tersenyum.
“Dengan kedua kaki ini,
aku melakukan perjalanan duniawi,” katanya. “Dengan dua kaki lainnya yang
kupunya, aku bahkan bisa berjalan di dua alam (dunia dan akhirat). Jika kalian
mampu, potonglah kedua kaki itu!”
Lalu ia mengusapkan
kedua tangannya yang bunting ke wajahnya, sehingga lengan dan wajahnya
berlumuran darah.
Mereka bertanya,
“Mengapa engkau melakukan itu?”
“Aku telah kehilangan
banyak darah,” jawabnya. “Aku sadar bahwa wajahku telah memucat. Kalian menyangka
bahwa pucatnya wajahku disebabkan oleh ketakutanku. Maka kuusapkan darah ke
wajahku agar pipiku tampak semerah mawar di mata kalian. Riasan para ksatria
adalah darah mereka.”
“Lalu mengapa engkau
juga melumuri lenganmu dengan darah?”
“Aku tengah berwudlu.”
“Wudlu untuk apa?”
“Saat seseorang hendak
mendirikan shalat dua rakaat dalam cinta,” jawab Al-Hallaj. “Wudlunya belum
sempurna bila tidak dilakukan dengan darah.”
Kemudian mereka
mencungkil kedua bola matanya. Raungan terdengar di antara kerumunan orang.
Sebagian menangis, sebagian melempar batu. Lalu mereka hendak memotong
lidahnya.
“Sabarlah sedikit, beri
aku waktu untuk mengutarakan sepatah-dua patah kata,” ujarnya. “Ya Allah,
pekiknya sambil menengadahkan wajahnya ke langit. “Janganlah engkau usir mereka
dari haribaan-Mu lantaran apa yang mereka lakukan padaku karena Engkau. Jangan
pula Engkau cabut kebahagiaan ini dari mereka. Segala puji bagi Allah, karena
mereka memotong kedua kakiku saat aku tengah meniti jalan-Mu. Dan jika mereka
memenggal kepalaku, sungguh mereka telah mengangkatku ke tiang gantungan,
merenungkan keagungan-Mu.”
Sebelum dihukum mati,
ia shalat dan berdoa, “Ya Allah, mereka adalah hamba yang berhimpun untuk
membunuhku, karena fanatik kepada agama-Mu dan hendak mendekatkan diri
kepada-Mu. Maka ampunilah dan berilah rahmat kepada mereka. Karena jika engkau
membuka hati mereka, seperti engkau membuka hatiku, mereka tidak akan melakukan
seperti yang sedang mereka lakukan terhadapku. Dan jika engkau tutup hatiku
seperti engkau menutup hati mereka, niscaya aku tidak akan diperlakukan seperti
ini.”
Kemudian mereka memotong
daun telinga dan hidungnya. Seorang yang membawa kendi kebetulan hadir di sana.
Melihat Al-Hallaj, ia memekik, “Penggal, penggal dengan keras dan benar! Apa
urusannya ia bicara tentang Tuhan?”
Kata-kata
terakhir yang diucapkan Al-Hallaj adalah “Cinta-Nya
adalah pengasingan-Nya.” Kemudian ia membaca sebuah ayat: “Orang-orang
yang tidak beriman kepada hari kiamat meminta supaya hari itu segera
didatangkan, dan orang-orang yang beriman merasa takut padanya dan mereka yakin
bahwa kiamat itu adalah benar (akan terjadi).”
Itulah kata-kata
terakhirnya.
Kemudian
mereka memotong lidahnya. Baru ketika shalat maghrib tiba mereka memenggal
kepalanya. Bahkan saat mereka memenggal kepalanya, Al-Hallaj tersenyum, lalu setelah
itu ia meninggal dunia.
Tangisan membahana dari
kerumunan orang. Al-Hallaj telah membawa bola takdir ke batas medan tawakal.
Tiap potongan tubuhnya menyerukan, “Akulah Kebenaran.”
Keesokan harinya mereka
mengatakan, “masalah ini akan bertambah buruk ketimbang saat ia hidup.”
Maka mereka pun membakar
jasadnya. Dari abunya pun terdengar seruan, “Akulah Kebenaran.” Bahkan pada
saat pembantaiannya, tiap tetes darahnya membentuk nama Allah”.
Mereka tercengang
melihat semua itu, lalu mereka membuang abunya ke Sungai Tigris. Abunya
mengambang di permukaan sungai Tigris dan terus menyerukan, “Akulah kebenaran.”
Sebelum dieksekusi
Al-Hallaj telah berpesan kepada pembantunya, “Saat mereka membuang abu jasadku
ke Sungai Tigris, Baghdad akan terancam tenggelam. Hamparkanlah jubahku di
sungai, kalau tidak, Baghdad akan hancur.”
Pembantunya, saat
melihat apa yang terjadi, membawa jubah Al-Hallaj dan menghamparkannya di tepi
Sungai Tigris. Air pun surut dan abu Hallaj pun diam. Kemudian mereka
mengumpulkan abunya dan menguburkannya.
Kematian Al-Hallaj merupakan kehilangan
besar sekaligus noda hitam dalam dunia tasawuf. Namun pemikirannya tetap hidup
terus, tak lekang oleh ruang dan waktu.
0 comments:
Post a Comment